GARDALAW OFFICE

GARDA LAW OFFICE

Advocate for your campany, family and personal

PERCERAIAN KATOLIK MENURUT ATURAN KATOLIK DAN HUKUM INDONESIA

Perkawinan bagi Warga Indonesia yang beragama Katolik tunduk pada UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta peraturan perundang-undangan yang terkait, begitu pula ketika terjadi perceraian sebagai salah satu alasan berakhirnya perkawinan. Untuk proses perceraian hanya dapat dilakukan melalui sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974, yang diantaranya berbunyi:

(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Adapun alasan yang diterima oleh Pengadilan untuk diputuskan perceraian sebagaimana di atur dalam Pasal 19 PP No 9 Tahun 1974 adalah:

  • Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan lainnya yang sukar disembuhkan.
  • Salah satu pihak meninggalkan pihak lain 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dan alasan yang sah.
  • Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
  • Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat pada pasangannya.
  • Salah satu pihak sakit sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
  • Antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus serta tidak ada harapan untuk rukun.

Prinsip Perceraian dalam Katolik dan Alasan Perceraian Katolik

Dalam Agama Katolik fenomena perceraian memang menjadi perdebatan abadi, namun demikian hukum nasional memberi jalan keluar jika memang perceraian tidak bisa dihindarkan. Perlu diingat dan dipahami hukum nasional tidak bisa dianggap memudahkan perceraian, sebaliknya memerlukan syarat sedemikian rupa bahkan seolah-olah hukum menghalang-halangi perceraian itu sendiri dengan sedemikian banyak syarat dan perangkat proses tahapan yang harus dilalui. Dan perlu dipahami bahwa perceraian Katolik hanyalah secara hukum sipil, ikatan perkawinan dianggap tetap sah dalam Kanonik Geraja Katolik.

Perkawinan Katolik memiliki dasar satu untuk selamanya yang tak terceraikan, bersifat monogami dan indissolubile.

Prinsip kelanggengan perkawinan tertuang dalam Matius 19:6, “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh dipisahkan oleh manusia.”

Monogam berarti satu laki-laki dengan satu perempuan. Tidak dikenal prinsip poligami dan poliandri dalam Katolik.

Indissolubile adalah situasi setelah terjadinya perkawinan antara orang-orang yang dibaptis secara sah dan disempurnakan dengan persetubuhan, maka perkawinan tidak dapat dipisahkan kecuali oleh kematian.

Selanjutnya Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici) menyatakan:

Kan. 1055 – § 1Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.

Kan. 1141 – Perkawinan ratum dan consummatum tidak dapat diputus oleh kuasa manusiawi manapun dan atas alasan apapun, selain oleh kematian.

Namun realitas perceraian tetap terjadi dan semakin meningkat dikalangan umat Katolik. Gereja sendiri banyak mengalami kendala dalam mencegah perceraian dikalangan umat Katolik. Sikap Gereja sendiri tetap tegas untuk anti terhadap perceraian dan tidak mau tunduk pada Lembaga perceraian.

 Jemaat Katolik yang akhirnya melakukan perceraian sering melepaskan diri dari doktrin Katolik dengan mengacu pada Matius 19:9,”Tetapi aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan istrinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain ia berbuat zinah.” Jadi jika ada perzinahan maka umat Katolik sering berbeda sikap dengan gerejanya.

Alkitab mencatat pula adanya surat cerai yang dibuat sejak umat Israel dipimpin oleh Musa yakni dengan cara suami menulis surat cerai lalu menyerahkan kepada istrinya, setelahnya sang istri dapat menikah lagi (Ulangan 24:1-4). Hal ini merupakan alasan sah bagi wanita manakala suaminya tidak bertanggungjawab dengan bukti surat cerai tadi. Jadi umat Katolik merasa jika pasangan tidak bertanggungjawab dapat dilakukan perceraian.

Selain itu umat Katolik melandaskan diri perceraian dapat dilakukan manakala pasangan mengikuti agama lain atau berpindah agama sebagaimana disampaikan dalam Kitab Keluaran 34:16 “Apabila engkau mengambil anak-anak peremupan mereka menjadi istri anak-anakmu dan anak-anak perempuan itu akan berzina dengan mengikuti allah mereka, maka mereka akan membujuk juga anak-anakmu laki-laki untuk berzina dengan mengikuti allah mereka.”

Yang dimaksud di atas adalah umat Katolik sering merasa berbeda sikap dengan sikap resmi gereja dengan mengajukan gugatan cerai karena pasangannya menyembah allah yang bukan Allah atau dengan kata lain berpindah agama. Alasannya keluarga Katolik berprinsip haruslah hidup dalam satu iman.

Selain itu alasan perceraian juga dapat dilakukan sebagaimana disampaikan Roma 7:2-3, “Sebab seorang istri terikat oleh hukum kepada suaminya selagi suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikat kepada suaminya itu. Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi istri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi istri laki-laki lain.”

 

Ketika ternyata pasangan terikat dengan perkawinan lain atau pemberkatan lain maka umat Katolik merasa dapat keluar dari sikap resmi gereja. Dan hal ini sebenarnya dasar dari larangan poliandri dan poligami dalam Katolik.

Melihat penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perceraian dalam Katolik merupakan sesuatu yang dilarang, namun umat sering keluar dari sikap resmi gereja biasanya karena alasan perceraian Katolik, yakni:

  1. Terjadi perselingkuhan (Matius 19:9)
  2. Pasangan berpindah agama (Keluaran 34:16)
  3. Pasangan terikat pada perkawinan lain (Roma 7:2-3)
  4. Pasangan tidak bertanggung jawab (Ulangan 24:1-4)

 

Hak Asuh Anak dalam Perceraian Katolik

Perlu dipahami sebelum membahas hak asuh, prinsip-prinsip kewajiban orang tua terhadap anak tetap sama seperti sebelum perkawinan orang tuanya berakhir. Prinsip ini disampaikan dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan. Demikian pula disampaikan dalam Pasal 45 Undang-Undang Perkawinan dengan tegas dapat disimpulkan walaupun perkawinan orang tua sudah berakhir kewajiban orang tua memelihara dan mendidik anak-anak sebaik-baiknya terus berlaku sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri.

Hak asuh anak dapat diperoleh melalui putusan pengadilan. Walaupun sudah terjadi kesepakatan diantara orang tua maka tetap penting hak asuh anak diputuskan melalui pengadilan. Dalam praktek jika hak asuh anak tidak diputuskan melalui pengadilan akan terdapat kesulitan dalam penegakan hukum terkait hak-hak anak termasuk beberapa kepengurusan administrasi anak seperti pengurusan Kartu Keluarga, Passport dan dalam beberapa kasus dalam administrasi sekolah.

Hak asuh anak dibawah umur biasanya jatuh pada ibunya sebagaimana telah diputuskan dalam berbagai Yurisprudensi Mahkamah Agung.  Selain pada ibunya, maka ayah kandung dapat memperoleh hak asuh. Hal tersebut disebutkan dalam SEMA No 1 Tahun 2017 yang menyatakan:

Hak ibu kandung untuk mengasuh anak di bawah umur setelah terjadinya perseraian dapat diberikan kepada ayah kandung sepanjang pemberian hak tersebut memberikan dampak positif terhadap tumbuh kembang anak dengan mempertimbangkan juga kepentingan/keberadaan / keinginan si anak pada saat proses perceraian.

 

Isu terkait hak asuh anak ini sangat sensitif dan bisa menjadi masalah yang tidak selesai dalam jangka panjang. Oleh karena itu diperlukan peran Advokat yang bukan saja profesional dan berpengalaman melainkan juga memiliki pemahaman dan itikad baik dalam memahami kepentingan anak. Banyak sekali orang tua termasuk advokat tidak memahami apa yang dimaksud hukum demi tumbuh berkembangnya anak.

 

Harta Gono Gini dalam Perceraian Katolik

Harta gono gini atau harta bersama menurut Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan merupakan harta yang diperoleh selama perkawinan. Dikecualikan atas harta bersama ini adalah harta yang diperoleh masing-masing suami istri sebagai hadiah (hibah) atau warisan.

Dalam Pasal 53 Undang-Undang Perkawinan maka harta perkawinan dibagi menjadi 3 (tiga) yakni:

  1. Harta Bawaan, yakni harta yang diperoleh sebelum perkawinan.
  2. Harta Warisan atau Hadiah.
  3. Harta Gono Gini atau Harta bersama.

Maka harta yang harus dibagi setelah perceraian itu adalah Harta Gono Gini, untuk itu yang berwenang membaginya adalah hakim melalui putusan pengadilan negeri bagi perkawinan yang tunduk pada Agama Katolik.

Penting sekali harta gono gini memiliki kedudukan yang jelas setelah perceraian karena jika tidak jelas akan sangat menyulitkan bagi masing-masing pihak. Dalam pengalaman akan sulit melakukan penguasaan yang sah dan sederhana. Masing-masing pihak juga akan kesulitan secara administrasi untuk berhubungan dengan pihak lain baik untuk menjual, atau menjaminkan hartanya pada pihak bank. Pihak ketiga seperti pembeli dan perbankan akan memiliki kesulitan secara perdata dan hukum pertanahan terkait harta gono gini. Selain itu sering ditemukan masalah keperdataan harta gono gini ini berkembang menjadi masalah pidana terutama karena akhirnya salah satu pihak memenuhi unsuk pidana harta dalam perkawinan baik secara sengaja ataupun tidak sengaja.

Terkait masalah gono gini secara teknis persidangan akan memakan waktu dan biaya. Oleh karena itu penting sekali untuk mempersiapkan sesuai dengan situasi yang berkembang. Untuk membantu Anda tidak bisa sembarangan pengacara dapat membantu Anda. Alih-alih Anda memperoleh harta gono gini malahan Anda kehilangan harta gono gini, hal ini sudah sangat sering terjadi dalam praktek. Pun ketika Anda memperoleh harta gono gini tapi Anda kehilangan banyak uang dan waktu lebih dari yang seharusnya hanya gara-gara kesalahan dan tidak efisiennya penanganan perkara. Dalam perkara harta gono gini seringkali Pengacara bertindak dengan tendesi kepentingannya sendiri.

PERCERAIAN KRISTEN MENURUT ATURAN KRISTEN DAN HUKUM INDONESIA

Perkawinan bagi Warga Indonesia yang beragama Kristen tunduk pada UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta peraturan perundang-undangan yang terkait, begitu pula ketika terjadi perceraian sebagai salah satu alasan berakhirnya perkawinan. Untuk proses perceraian hanya dapat dilakukan melalui sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974, yang diantaranya berbunyi:

(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Adapun alasan yang diterima oleh Pengadilan untuk diputuskan perceraian sebagaimana di atur dalam Pasal 19 PP No 9 Tahun 1974 adalah:

  • Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan lainnya yang sukar disembuhkan.
  • Salah satu pihak meninggalkan pihak lain 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dan alasan yang sah.
  • Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
  • Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat pada pasangannya.
  • Salah satu pihak sakit sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
  • Antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus serta tidak ada harapan untuk rukun.

Prinsip Perceraian dalam Kristen dan Alasan Perceraian Kristen

Dalam Agama Kristen fenomena perceraian memang menjadi perdebatan abadi, namun demikian hukum nasional memberi jalan keluar jika memang perceraian tidak bisa dihindarkan. Namun demikian hukum nasional tidak bisa dipandang memudahkan perceraian, sebaliknya memerlukan syarat sedemikian rupa bahkan seolah-olah hukum menghalang-halangi perceraian itu sendiri dengan sedemikian banyak syarat dan perangkat proses tahapan yang harus dilalui.

Prinsip kelanggengan perkawinan tertuang dalam Matius 19:6, “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh dipisahkan oleh manusia.”

Namun realitas perceraian juga diakui dalam kekristenan sebagaimana tertuang dalam Matius 19:9,”Tetapi aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan istrinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain ia berbuat zinah.” Jadi jika ada perzinahan maka pasangan dapat meminta cerai.

Alkitab mencatat pula adanya surat cerai yang dibuat sejak umat Israel dipimpin oleh Musa yakni dengan cara suami menulis surat cerai lalu menyerahkan kepada istrinya, setelahnya sang istri dapat menikah lagi (Ulangan 24:1-4). Hal ini merupakan alasan sah bagi wanita manakala suaminya tidak bertanggungjawab dengan bukti surat cerai tadi.

Zinah dalam kekristenan tidak bisa hanya dipahami sebagai hubungan seks dengan pihak yang bukan jadi pasangannya, tetapi juga mengikuti agama lain atau berpindah agama sebagaimana disampaikan dalam Kitab Keluaran 34:16 “Apabila engkau mengambil anak-anak peremupan mereka menjadi istri anak-anakmu dan anak-anak perempuan itu akan berzina dengan mengikuti allah mereka, maka mereka akan membujuk juga anak-anakmu laki-laki untuk berzina dengan mengikuti allah mereka.”

Yang dimaksud di atas adalah keluarga Kristen berhak mengajukan gugatan cerai jika pasangannya menyembah allah yang bukan Allah atau dengan kata lain berpindah agama. Karena keluarga Kristen berprinsip haruslah hidup dalam satu iman.

Selain itu alasan perceraian juga dapat dilakukan sebagaimana disampaikan Roma 7:2-3, “Sebab seorang istri terikat oleh hukum kepada suaminya selagi suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikat kepada suaminya itu. Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi istri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi istri laki-laki lain.”

 

Dengan demikian gugatan cerai dapat disampaikan karena ternyata pasangan terikat dengan perkawinan lain atau pemberkatan lain. Hal ini pula dasar dari larangan poliandri dan poligami dalam Kristen.

Melihat penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perceraian dalam Kristen merupakan sesuatu yang dilarang, namun larangan itu dikecualikan dengan alasan perceraian Kristen, yakni:

  1. Terjadi perselingkuhan (Matius 19:9)
  2. Pasangan berpindah agama (Keluaran 34:16)
  3. Pasangan terikat pada perkawinan lain (Roma 7:2-3)
  4. Pasangan tidak bertanggung jawab (Ulangan 24:1-4)

Demikian jelaslah prinsip larangan perceraian dan pengecualiannya karena terpenuhi alasan-alasan bercerai dalam Kristen.

 

Hak Asuh Anak dalam Perceraian Kristen

Perlu dipahami sebelum membahas hak asuh, prinsip-prinsip kewajiban orang tua terhadap anak tetap sama seperti sebelum perkawinan orang tuanya berakhir. Prinsip ini disampaikan dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan. Demikian pula disampaikan dalam Pasal 45 Undang-Undang Perkawinan dengan tegas dapat disimpulkan walaupun perkawinan orang tua sudah berakhir kewajiban orang tua memelihara dan mendidik anak-anak sebaik-baiknya terus berlaku sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri.

Hak asuh anak dapat diperoleh melalui putusan pengadilan. Walaupun sudah terjadi kesepakatan diantara orang tua maka tetap penting hak asuh anak diputuskan melalui pengadilan. Dalam praktek jika hak asuh anak tidak diputuskan melalui pengadilan akan terdapat kesulitan dalam penegakan hukum terkait hak-hak anak termasuk beberapa kepengurusan administrasi anak seperti pengurusan Kartu Keluarga, Passport dan dalam beberapa kasus dalam administrasi sekolah.

Hak asuh anak dibawah umur biasanya jatuh pada ibunya sebagaimana telah diputuskan dalam berbagai Yurisprudensi Mahkamah Agung.  Selain pada ibunya, maka ayah kandung dapat memperoleh hak asuh. Hal tersebut disebutkan dalam SEMA No 1 Tahun 2017 yang menyatakan:

Hak ibu kandung untuk mengasuh anak di bawah umur setelah terjadinya perseraian dapat diberikan kepada ayah kandung sepanjang pemberian hak tersebut memberikan dampak positif terhadap tumbuh kembang anak dengan mempertimbangkan juga kepentingan/keberadaan / keinginan si anak pada saat proses perceraian.

 

Isu terkait hak asuh anak ini sangat sensitif dan bisa menjadi masalah yang tidak selesai dalam jangka panjang. Oleh karena itu diperlukan peran Advokat yang bukan saja profesional dan berpengalaman melainkan juga memiliki pemahaman dan itikad baik dalam memahami kepentingan anak. Banyak sekali orang tua termasuk advokat tidak memahami apa yang dimaksud hukum demi tumbuh berkembangnya anak.

 

Harta Gono Gini dalam Perceraian Kristen

Harta gono gini atau harta bersama menurut Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan merupakan harta yang diperoleh selama perkawinan. Dikecualikan atas harta bersama ini adalah harta yang diperoleh masing-masing suami istri sebagai hadiah (hibah) atau warisan.

Dalam Pasal 53 Undang-Undang Perkawinan maka harta perkawinan dibagi menjadi 3 (tiga) yakni:

  1. Harta Bawaan, yakni harta yang diperoleh sebelum perkawinan.
  2. Harta Warisan atau Hadiah.
  3. Harta Gono Gini atau Harta bersama.

Maka harta yang harus dibagi setelah perceraian itu adalah Harta Gono Gini, untuk itu yang berwenang membaginya adalah hakim melalui putusan pengadilan negeri bagi perkawinan yang tunduk pada Agama Kristen.

Penting sekali harta gono gini memiliki kedudukan yang jelas setelah perceraian karena jika tidak jelas akan sangat menyulitkan bagi masing-masing pihak. Dalam pengalaman akan sulit melakukan penguasaan yang sah dan sederhana. Masing-masing pihak juga akan kesulitan secara administrasi untuk berhubungan dengan pihak lain baik untuk menjual, atau menjaminkan hartanya pada pihak bank. Pihak ketiga seperti pembeli dan perbankan akan memiliki kesulitan secara perdata dan hukum pertanahan terkait harta gono gini. Selain itu sering ditemukan masalah keperdataan harta gono gini ini berkembang menjadi masalah pidana terutama karena akhirnya salah satu pihak memenuhi unsuk pidana harta dalam perkawinan baik secara sengaja ataupun tidak sengaja.

Terkait masalah gono gini secara teknis persidangan akan memakan waktu dan biaya. Oleh karena itu penting sekali untuk mempersiapkan sesuai dengan situasi yang berkembang. Untuk membantu Anda tidak bisa sembarangan pengacara dapat membantu Anda. Alih-alih Anda memperoleh harta gono gini malahan Anda kehilangan harta gono gini, hal ini sudah sangat sering terjadi dalam praktek. Pun ketika Anda memperoleh harta gono gini tapi Anda kehilangan banyak uang dan waktu lebih dari yang seharusnya hanya gara-gara kesalahan dan tidak efisiennya penanganan perkara. Dalam perkara harta gono gini seringkali Pengacara bertindak dengan tendesi kepentingannya sendiri.

PERCERAIAN BUDHA MENURUT AJARAN AGAMA BUDHA DAN HUKUM INDONESIA

Perceraian Dalam Ajaran Budha

Alkisah sebagaimana disampaikan dalam Sutta pada masa Budha Gotama terjadi perceraian antara Ugga dengan istrinya. Ugga adalah seorang upasaka yang senang berderma dengan barang-barang yang bagus dan berkualitas. Ugga berkeyakinan siapa yang berderma dengan yang terbaik akan mendapat yang terbaik pula, sehingga ia tidak segan membeli barang bagus untuk didermakan.

Ugga memiliki empat istri, dimana pada saat itu bukan sesuatu yang janggal seorang lelaki dari berbagai kalangan berpolygami. Awalnya hidup rukun, namun setelah menemui pencerahan Buddha, kehidupan Ugga mulai berubah. Karena Ugga mencapai tataran Anagami, dengan tingkat kesucian yang telah berhasil menghancurkan dan membelenggu hawa nafsu. Sehingga keinginan syahwatnya lenyap sehingga jika dilanjutkan perkawinan akan membawa kesengsaraan kepada para istri.

Ugga kemudian mendatangi para istri lalu menyatakan tidak bisa hidup bersama lagi dan mengizinkan semuanya untuk menikah lagi. Satu per satu istrinya menikah, dengan kebaikan Ugga memberi modal untuk pernikahan istrinya dengan suami barunya, tentunya merupakan kebaikan untuk melihat mantan istrinya berbahagia walau harus dengan suami baru mereka.

Meskipun demikian tidak dapat dikatakan bahwa Budha mendukung perceraian, perceraian harus dipandang upaya terakhir setelah berbagai cara dilakukan untuk mempertahankan perkawinan. Dalam Sutta disampaikan cara untuk mempertahankan jodoh supaya awet, seperti yang dimuat dalam percakapan pasangan Nakulapita dan Nakulamata dengan Budha, diantaranya Budha menyampaikan:

“Perumah tangga, jika suami dan istri ingin tidak terpisah selama kehidupan ini masih berlangsung dan di dalam kehidupan yang akan datang juga, harus memiliki keyakinan yang sama, moralitas yang sama, kedermawanan yang sama, kebijaksanaan yang sama, dengan demikian mereka tidak akan berpisah selama kehidupan ini masih berlangsung dan di dalam kehidupan mendatang juga.”

(Aṅguttara Nikāya V, 55)

Ada dharma dalam perkawinan, maka ada dharma juga dalam perceraian sebagaimana dicontoh Ugga yang menanamkan itu pada mantan istrinya. Hal ini tentu agar kiranya ketika terjadi perceraian maka karma tersebut dilanjutkan dengan kebaikan, sehingga mengubah karma menjadi kebaikan. Rasa sakit dalam perceraian adalah peluang untuk mempraktekkan apa yang diajarkan Budha,  bahwa rasa sakit adalah bagian yang tidak dapat dihindari dari dunia, dan penderitaan adalah reaksi yang tidak dapat dihindarkan. Penderitaan berhubungan dengan menolak kenyataan yang dihadapi, karena itu akan lebih baik untuk mengembalikan keseimbangan dengan membiarkan segala sesuatu berjalan dengan lebih baik untuk kita, pasangan dan anak-anak.

Perceraian bagian dari Anicca, yaitu kebenaran akan ketidakkekalan. Maka yakinlah bahwa semua pengalaman terus berubah, dan kita merupakan perbaikan-perbaikan. Penderitaan perceraian akan berubah karena prinsip Anicca tersebut. Perasaan menderita, sakit dan tidak nyaman akan berubah.

Disinilah pentingnya Anicca itu dilakukan dengan baik, didalamnya termasuk memperbaiki tujuan perceraian bukan untuk memperpanjang penderitaan dan membalaskan pada pasangan apalagi anak, justru untuk memperbaiki situasi. Anicca yang bertanggungjawab ini diantaranya penting untuk mengikuti prosedur dan aturan hukum agar jelas pertanggungjawaban. Negara memiliki dharma dalam bentuk perangkat aturan hukum yang dibuat untuk melindungi warganya dalam berbagai situasi termasuk manakala terjadi perceraian.

Perceraian Pasangan Budha dalam Hukum Nasional Indonesia

Perkawinan bagi Warga Indonesia yang beragama Budha tunduk pada UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta peraturan perundang-undangan yang terkait, begitu pula ketika terjadi perceraian sebagai salah satu alasan berakhirnya perkawinan. Untuk proses perceraian hanya dapat dilakukan melalui sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974, yang diantaranya berbunyi:

(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Adapun alasan yang diterima oleh Pengadilan untuk diputuskan perceraian sebagaimana di atur dalam Pasal 19 PP No 9 Tahun 1974 adalah:

  • Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan lainnya yang sukar disembuhkan.
  • Salah satu pihak meninggalkan pihak lain 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dan alasan yang sah.
  • Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
  • Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat pada pasangannya.
  • Salah satu pihak sakit sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
  • Antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus serta tidak ada harapan untuk rukun.

 

Hak Asuh Anak dalam Perceraian Budha

Menjadi mahfum manakala terjadi perceraian maka pasangan berpisah, lantas anak ikut dengan siapa. Ajaran Budha tidak memberikan detail kepada siapa anak diberikan manakala terjadi perceraian. Namun yang penting adalah tetap tegaknya prinsip sebagaimana disampaikan dalam Sigalovada Sutta, Dīgha Nikāya yakni: orang tua mempunyai kewajiban mencegah anak berbuat jahat, menganjurkan anak berbuat baik, memberikan Pendidikan yang sesuai kepada anak, mencarikan pasangan yang sesuai dengan anak, menyerahkan harta warisan kepada anak pada saat yang tepat. Prinsip ini harus ditegakkan karena jangan sampai anak menjadi korban yang berkelanjutan dari perceraian, setelah anak harus menerima kenyataan orang tuanya bercerai, maka kemudian anak tidak terurus bahkan kehilangan kasih sayang dan kebajikan dari kedua orang tua atau salah satu orang tuanya.

Demikian pula hukum negara kita mengatur dimana prinsip-prinsip kewajiban orang tua terhadap anak tetap sama seperti sebelum perkawinan orang tuanya berakhir. Prinsip ini disampaikan dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan. Demikian pula disampaikan dalam Pasal 45 Undang-Undang Perkawinan dengan tegas dapat disimpulkan walaupun perkawinan orang tua sudah berakhir kewajiban orang tua memelihara dan mendidik anak-anak sebaik-baiknya terus berlaku sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri.

Hak asuh anak dapat diperoleh melalui putusan pengadilan. Walaupun sudah terjadi kesepakatan diantara orang tua maka tetap penting hak asuh anak diputuskan melalui pengadilan. Dalam praktek jika hak asuh anak tidak diputuskan melalui pengadilan akan terdapat kesulitan dalam penegakan hukum terkait hak-hak anak termasuk beberapa kepengurusan administrasi anak seperti pengurusan Kartu Keluarga, Passport dan dalam beberapa kasus dalam administrasi sekolah.

Hak asuh anak dibawah umur biasanya jatuh pada ibunya sebagaimana telah diputuskan dalam berbagai Yurisprudensi Mahkamah Agung.  Selain pada ibunya, maka ayah kandung dapat memperoleh hak asuh. Hal tersebut disebutkan dalam SEMA No 1 Tahun 2017 yang menyatakan:

Hak ibu kandung untuk mengasuh anak di bawah umur setelah terjadinya perseraian dapat diberikan kepada ayah kandung sepanjang pemberian hak tersebut memberikan dampak positif terhadap tumbuh kembang anak dengan mempertimbangkan juga kepentingan/keberadaan / keinginan si anak pada saat proses perceraian.

 

Perlu diperhatikan, karena situasi ini sering sekali diabaikan termasuk oleh para advokat yang harusnya mengerti, bahwa hak asuh tidak menghalangi sedikit pun hak dan kewajiban pasangan yang tidak mendapatkan hak asuh untuk terus menjalankan kewajibannya dan haknya terhadap anak. Butuh kematangan yang luar biasa dari kedua orang tua yang sudah terpisah, karena praktek hak asuh ini seringkali menghalangi prinsip kewajiban orang tua terhadap anak tetap sama walaupun perkawinan sudah berakhir. Dalam praktik seringkali anak dijadikan alat untuk menyakiti mantan pasangan dengan cara mantan pasangannya tersebut dibatasi bahkan dilarang bertemu dengan anaknya yang dicintainya. Secara psikologis situasi itu juga mengorbankan lansung Kesehatan mental anak. Sering dalam praktek kami harus menyarankan kebesaran jiwa orang tua demi mental anak.

Isu terkait hak asuh anak ini sangat sensitif dan bisa menjadi masalah yang tidak selesai dalam jangka panjang. Oleh karena itu diperlukan peran Advokat yang bukan saja profesional dan berpengalaman melainkan juga memiliki pemahaman dan itikad baik dalam memahami kepentingan anak. Banyak sekali orang tua termasuk advokat tidak memahami apa yang dimaksud hukum demi tumbuh berkembangnya anak.

 

Harta Gono Gini dalam Perceraian Budha

Agama Budha tidak mengatur tentang harta gono gini, tapi mengajarkan kebaikan dan tanggung jawab sebagaimana dicontohkan Ugga sebagaimana diceritakan dalam Sutta. Harta gono gini atau harta bersama menurut Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan merupakan harta yang diperoleh selama perkawinan. Dikecualikan atas harta bersama ini adalah harta yang diperoleh masing-masing suami istri sebagai hadiah (hibah) atau warisan.

Dalam Pasal 53 Undang-Undang Perkawinan maka harta perkawinan dibagi menjadi 3 (tiga) yakni:

  1. Harta Bawaan, yakni harta yang diperoleh sebelum perkawinan.
  2. Harta Warisan atau Hadiah.
  3. Harta Gono Gini atau Harta bersama.

Maka harta yang harus dibagi setelah perceraian itu adalah Harta Gono Gini, untuk itu yang berwenang membaginya adalah hakim melalui putusan pengadilan negeri bagi perkawinan yang tunduk pada Agama Budha.

Penting sekali harta gono gini memiliki kedudukan yang jelas setelah perceraian karena jika tidak jelas akan sangat menyulitkan bagi masing-masing pihak. Dalam pengalaman akan sulit melakukan penguasaan yang sah dan sederhana. Masing-masing pihak juga akan kesulitan secara administrasi untuk berhubungan dengan pihak lain baik untuk menjual, atau menjaminkan hartanya pada pihak bank. Pihak ketiga seperti pembeli dan perbankan akan memiliki kesulitan secara perdata dan hukum pertanahan terkait harta gono gini. Selain itu sering ditemukan masalah keperdataan harta gono gini ini berkembang menjadi masalah pidana terutama karena akhirnya salah satu pihak memenuhi unsuk pidana harta dalam perkawinan baik secara sengaja ataupun tidak sengaja.

Terkait masalah gono gini secara teknis persidangan akan memakan waktu dan biaya. Oleh karena itu penting sekali untuk mempersiapkan sesuai dengan situasi yang berkembang. Untuk membantu Anda tidak bisa sembarangan pengacara dapat membantu Anda. Alih-alih Anda memperoleh harta gono gini malahan Anda kehilangan harta gono gini, hal ini sudah sangat sering terjadi dalam praktek. Pun ketika Anda memperoleh harta gono gini tapi Anda kehilangan banyak uang dan waktu lebih dari yang seharusnya hanya gara-gara kesalahan dan tidak efisiennya penanganan perkara. Dalam perkara harta gono gini seringkali Pengacara bertindak dengan tendesi kepentingannya sendiri

PERCERAIAN HINDU MENURUT AJARAN AGAMA HINDU DAN HUKUM INDONESIA

Perceraian Dalam Ajaran Hindu

Pada dasarnya Agama Hindu menentang terjadinya perceraian, namun demikian berbagai situasi potensi berakhirnya perkawinan seringkali tidak bisa dihindarkan. Justru jika perkawinan dilanjutkan akan menambah dosa dari pasangan karena tidak ada harmoni untuk mencapai tujuan perkawinan yakni kebahagian lahir bathin.

Untuk menempuh perceraian terdapat beberapa cara umum yang bisa dilakukan:

  1. Menyampaikan permasalahan dengan banjar adat sesuai dengan awig-awig atau pararem setempat;
  2. Melakukan upacara Mapegat Sot dengan mengelilingi Bale Agung;
  3. Dilanjutkan dengan permohonan cerai pada pengadilan negeri yang berwenang;
  4. Menyampaikan Salinan putusan cerai dan akte cerai kepada prajuru banjar atau desa prakaman.

Setelah perceraian kemungkinan untuk rujuk masih bisa dilaksanakan, dan jika hal tersebut terjadi maka harus ditempuh upacara perkawinan seperti semula. Setelah terjadi perceraian maka Pihak pradana kembali ke rumah asalnya dengan status mulih daa atau mulih taruna, sehingga kembali melaksanakan swadharma berikut swadikara di keluarga asal.

Status Hak Asuh Anak dan Harta Gunakaya pada Perceraian Pasangan Hindu

Anak yang masih kecil karena pertimbangan tumbuh kembang anak dapat diasuh oleh ibu. Faktor psikologis anak harus sangat diperhatikan terutama dalam tumbuh kembangnya masih sangat tergantung dari pengasuhan ibu. Walau hak asuh anak terutama anak yang masih dibawah umur berada pada ibunya namun hubungan pasidikaran anak tersebut tetap pada keluarga purusa. Terkait biaya-biaya yang diperlukan oleh anak maka diperoleh melalui ayahnya sebagai pihak purusa.

Selanjutnya terkait harta gunakaya (harta bersama dalam perkawinan)  maka masing-masing pihak berhak atas pembagian harta gunakaya dengan prinsip pedum pada (bagi sama rata). Dalam prakteknya prinsip ini harus melihat aspek-aspek administrasi agar tidak terjadi kesulitan dalam pengurusan harta masing-masing pihak, utama bisa dilakukan melalui kesepakatan pembagian harta atau agar lebih menjamin melalui putusan pengadilan. Hal ini perlu diperhatikan karena jika tidak tertib maka akan terjadi sengketa panjang terkait harta yang dipenuhi ketidakpastian atas aset perkawinan.

 

Perceraian Pasangan Hindu dalam Hukum Nasional Indonesia

Perkawinan bagi Warga Indonesia yang beragama Hindu tunduk pada UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta peraturan perundang-undangan yang terkait, begitu pula ketika terjadi perceraian sebagai salah satu alasan berakhirnya perkawinan. Untuk proses perceraian hanya dapat dilakukan melalui sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974, yang diantaranya berbunyi:

(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Adapun alasan yang diterima oleh Pengadilan untuk diputuskan perceraian sebagaimana di atur dalam Pasal 19 PP No 9 Tahun 1974 adalah:

  • Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan lainnya yang sukar disembuhkan.
  • Salah satu pihak meninggalkan pihak lain 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dan alasan yang sah.
  • Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
  • Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat pada pasangannya.
  • Salah satu pihak sakit sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
  • Antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus serta tidak ada harapan untuk rukun.

LAYANAN KAMI

PENDAPAT KLIEN KAMI

“Saya percaya pengacara di Garda law office karena memahami persoalan saya”

Reka R (Designer)

“Solusi yang di berikan pengacara Garda Law Office sangat membantu saya”

Abdurahman (Manager)

Pendampingan yang sangat luar biasa. Apabila ada teman atau relasi mengalami kasus serupa dengan Saya. Saya akan merekomendasikan Garda Law Office untuk mereka”

Eka Wibawa (Support)

ALAMAT DAN LOKASI KAMI

Kontak Kami

Layanan Kami